MP3 Qur'an

Label

free counters

Chat With Me!

Friday, May 11, 2012

postheadericon Hukum Melafalkan Niat dalam Shalat, Apakah Hal Itu Bid'ah?


Makna Niat dan tempatnya:
-          Niat berasal dari kata نوى-ينوي  dan jama’nya adalah النيات
-          Secara bahasa berarti القصد  (Maksud/Tujuan) *lihat lisânul-Arab 348/15 (Versi Al-Maktabah Asy-Syâmilah
-          Demikian juga bermakna  الحاجة (kebutuhan), dan  البعد  (Jauh), dan juga berarti tempat tujuan seorang musafir, baik itu jauh ataupun dekat *Lihat Al-Qamûs Al-Fiqhi lughatan wa ishtilâhan 1/363-364 Versi Al-Maktabah Asy-Syâmilah
-          Secara istilah berarti: “Tekad untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Tempat Niat:
-          Tempat niat adalah hati
-          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang tempat niat, apakah di hati atau di lidah? Lalu beliau menjawab “Alhamdulillah, tempat niat adalah hati, bukan lidah, para Imam sepakat akan hal ini, untuk segala macam ibadah: Shalat, thaharah, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad, dan yang lainnya. Jikapun seseorang mengucapkan niat dengan lidahnya namun tidak sesuai dengan apa yang diniatkan di hatinya, maka yang dianggap adalah apa yang dinaitkan di hatinya bukan apa yang diucapkan oleh lidahnya, dan meskipun seseorang mengucapkan di lidahnya, namun di hatinya tidak ada niat apapun, maka itu tidak ada gunanya, para imam sepakat akan hal ini.”
Hukum Niat dalam shalat:
-          Imam An-Nawawi rahimahullâh berkata: “(Adapun hukum masalah niat ini) Maka niat itu wajib, tidak sah shalat tanpa niat, Ibnul-Mundzir menukil dalam kitabnya ‘Al-Isyrâf’ dan kitab ‘Al-Ijmâ`’ demikian pula Syaikh Abu Hamid Al-Isfirâyinie, Al-Qâdli Abu At-Thayyib, Serta pengarang kitab Asy-Syâmil dan Muhammad bin Yahya dan yang lainnya, mereka menukil [dalam kitab mereka] tentang kesepakatan para ulama’ bahwasanya shalat tidak sah tanpa niat” (Lihat kitab Al-Majmû` 241)
Apakah melafalkan niat itu bid’ah?
-          Melafalkan niat itu tidak ada dasarnya/dalilnya, tidak ada riwayat yang dinukil dari Nabi shallallâhu `alaihi wa sallam, baik dari jalan yang shahih, ataupun dari jalan yang dla’if yang menjelaskan bahwa Nabi melafalkan niat ketika hendak shalat.
-          Ibnul-Qayyim rahimahullâh berkata: “Rasulullah shallallâhu `alaihi wa sallam Ketika hendak shalat beliau mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya, tidak pernah sama sekali melafalkan niat, tidak mengucapkan ‘Aku berniat shalat (ini) menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau ma`mum’ beliau tidak juga mengucapkan ‘Adâ’ atau Qadlâ’’ tidak juga mengucapkan ‘Fardlu karena Allah ta’alâ ‘ , Ini adalah perkara bid’ah, tidak ada seorang pun yang menukil dari nabi baik dengan sanad yang shahih ataupun dla’if, tidak dalam  riwayat yang bersanad, juga tidak dalam riwayat yang mursal, tidak ada sama sekali meskipun hanya satu lafal, bahkat tidak ada seorangpun yang menukil meski dari para sahabat Rasulullah. (Lihat kitab Zâdul-Ma`âd 1/201, maktabah al-manâr al-Islâmiyah, juga dalam Al-Maktabah Asy-Syâmilah dalam kitab yang sama 1/194.)


Hukum melafalkan niat menurut empat madzhab:
Hendaknya kita ingat, untuk membedakan antara menisbahkan perkataan kepada empat madzhab (Hanafiyah, Mâlikiyah, Asy-Syâfi’iyyah dab Hanâbilah) dan imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-syâfi’i dan Ahmad), misalnya perkataan Al-Hanafiyyah dalam sebuah permasalahan, tidak mesti perkataan itu adalah perkataan Imam Abu Hanifah, karena terkadang imam Abu Hanifah tidak berbicara apapun dalam masalah itu, tetapi perkataan itu adalah perkataan sebagian besar orang-orang yang bermadzhab dengan madzhab Abu Hanifah.
Demikian pula dalam permasalahan ini (melafalkan niat), Sesungguhnya empat imam tidak ada yang membicarakan tentang hal ini, karenanya tidak ada ucapan yang dinisbahkan kepada mereka dalam permasalahan ini, kecuali beberapa Asy-Syâfi’iyyah yang berpraduga bahwa imam Asy-Syâfi`i mensyaratkan untuk melafalkan niat ketika hendak shalat, dan ini adalah praduga yang salah, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Imam dari madzhab Asy-Syâfi’iyyah seperti imam An-An-Nawawi rahimahullâh, dan akan kita sampaikan setelah ini.

Inilah pendapat empat madzhab tentang hukum melafalkanniat:
Pertama:
Al-Hanafiyyah, mereka berpendapat: “Sesungguhnya melafalkan niat itu bid’ah, namun itu baik untuk dilafalkan untuk menolak was-was” (lihat Al-Fiqh `alâ al-madzâhib al-arba`ah 1/195- Al-Maktabah Asy-Syâmilah).

Kedua:
Al-Mâlikiyyah, mereka berpendapat: “Sesungguhnya melafalkan niat itu menyalahi yang lebih utama bagi orang yang tidak was-was, namun dianjurkan bagi orang yang was-was” (lihat Al-Fiqh `alâ al-madzâhib al-arba`ah 1/195- Al-Maktabah Asy-Syâmilah)

Ketiga:
Asy-Syâfi’iyyah, mereka berpendapat bahwa melafalkan niat secara umum itu hukumnya sunnah (Lihat kitab Mar’âtul-Mafâtieh Syarh Misykâtil-Mashâbieh 3/86)
Bahkan diantara ulama’ Asy-Syâfi’iyyah ada yang mewajibkan melafalkan niat sebelum bertakbir, mereka mengira itu adalah maksud dari perkataan imam Asy-Syâfi`i rahimahullâh.
Beberapa Ulama’ Asy-Syâfi’iyyah yang lain telah membantah perkataan ini, mereka mengatakan: “Yang mereka ucapkan itu SALAH, imam Asy-Syâfi`i tidak memaksudkan ‘melafalkan niat’ dalam ungkapannya, tetapi yang beliau maksudkan adalah ‘Takbir yang wajib ketika memulai shalat (takbiratul-ihrâm)’, dan perkataan mereka itu tidak dianggap bagian dari madzhab. (Lihat kitab Nihâyatul-Mathlab fie Dirâyatil-Madzhab, karangan Al-Juwainie Imam Al-Haramain, meninggal tahun 478 H, 2/120- Al-Maktabah Asy-Syâmilah.

Al-Mâwardî berkata: “Hendaknya seseorang  berniat dengan hatinya tanpa melafalkan dengan lidahnya, menurut madzhab Imam Asy-Syâfi`i itu sudah cukup, dan Abu Abdullah Az-Zubairi (dari madzhab kami) berpendapat bahwa berniat dengan hati itu tidak cukup sampai seseorang melafalkan dengan lidahnya, karena imam Asy-Syâfi`i berkata dalam bab Al-Manâsik, “bahwa seseorang yang berniat ihram dalam hatinya, tidak harus melafalkan (talbiyah), beda halnya dengan shalat, di mana shalat itu tidak sah tanpa kita mengucapkannya” Abu Abdullah Az-Zubairi menta’wil perkataan imam Asy-Syâfi`i ‘mengucapkannya’ dengan ‘ kewajiban mengucapkan niat’, dan hal ini SALAH, karena maksud imam Asy-Syâfi`i adalah kewajiban mengucapkan takbîratul-ihrâm, kemudian yang lebih memperjelas KESALAHAN pendapat ini adalah: Bahwasanya niat itu adalah amalan hati, dan tidak membutuhkan anggota tubuh yang lain, sebagaimana bacaan itu adalah pekerjaan lidah, dan tidak membutuhkan anggota tubuh yang lain. (Lihat kitab Al-Hâwie al-kabier fie fiqh madzhab al-imam As-Syafi’i, syarh Mukhatashar Al-MuzanieAl-Maktabah Asy-Syâmilah)
Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazâlie rahimahullâh berkata:
“Kemudian niat ini tempatnya di hati, tidak diucapkan, tidak juga dengan rangkaian huruf, baik itu di hati ataupun di lidah. Ya, dianjurkan agar lisan membantu hati dalam hal ini, dan imam Asy-Syâfi`i telah berkata: “Ihram haji itu sah hanya dengan niat tanpa pengucapan, beda halnya dengan shalat” kesahalah praduga adalah “Syarat sah nya shalat adalah melafalkan” padahal sebenarnya imam Asy-Syâfi`i hendak menjelaskan perbedân antara  hukum takbir dan talbiyah (lihat kitab Al-wasîth fie Al-Madzhab 2/82)

Imam An-Nawawi rahimahullâh berkata:
“… Jumhur bekara: imam Asy-Syâfi`i tidak memaksudkan melafalkan niat, tetapi beliau memaksudkan takbir, karena keabsahan shalat itu terikat dengan pengucapan takbir, dan dalam haji seseorang dapat berihram tanpa mengucapkan talbiyah” (Lihat kitab Al-Majmû` 3/263)

Keempat
Pendapat Al-Hanâbilah, mereka berpendapat bahwa melafalkan niat hukumnya bid’ah.


BEBERAPA PERKATAAN ULAMA’ BAHWASANYA MELAFALKAN NIAT HUKUMNYA BID’AH:
Berikut ini para ulama’ yang memandang bahwasanya melafalkan niat itu hukumnya bid’ah:

1.       Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah, dalam banyak fatwanya beliau telah berfatwa bahwasanya melafalkan niat itu hukumnya bid’ah, (Lihat Majmû’ Al-Fatâwâ 22/218-219 dan yang lainnya)

2.       Syaikh Abdullah bin Abdul Azîz bin Bâz (lihat kitab fatâwâ Islâmiyah 1/476, 478 – Al-Maktabah Asy-Syâmilah)
3.       Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (lihat kitab Fatâwâ Nûr ‘alâ Ad-Darb 22/228)

4.       Syaikh Muhâmad Nashiruddin Al-Albânie, ia mengatakan “Ketahuilah, bahwasanya melafalkan niat itu TIDAK DISYARI’ATKAN, baik itu dalam Ihram, ataupun dalam ibadah yang lainnya seperti thaharah, shalat, puasa, niat itu tempatnya hanyalah di hati, adapun melafalkan niat itu hukumnya bid’ah” (Lihat Hujjah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagaiamana dia meriwayatkannya dari Jabir r.a.  1/48, dan lihat juga Manâsik al-Hajj wa al-Umrah fie al-kitâb wa as-sunnah wa âtsâri as-salaf wa sard mâ Alhaqa an-Nâsu bihâ min al-bida` 1/1 – Al-Maktabah Asy-Syâmilah)


5.       Syaikh Al-Fauzan, dia berkata: “Tidak ada ketetapan dar imam Asy-Syâfi`i rahimahullâh bahwa dia berpendepat tentang disyariatkannya melafalkan niat ketika hendak shalat, meskipun pendapat ini disandarkan padanya, dan andaipun ada ketetapan dari imam Asy-Syâfi`i, maka ketetapan dari Rasulullah shallallahu  alaihi wa sallam lebih layak dan lebih utama untuk dicontoh, adapun ijtihad seorang ulama’ tanpa ada dalil, maka kita tidak boleh mengambil hasil ijtihadnya.” (Lihat kitab Al-Muntaqâ min Fatâwâ Al-Fauzan 6/42 – Al-Maktabah Asy-Syâmilah).

6.       Syaikh Abdul-Muhsin bin Hamdil-Ibad Al-Badr, dia berkata: “…. Tidak perlu melafalkan niat, melafalkan niat hukumnya bid’ah, seseorang hanya cukup berniat dengan hatinya bahwasanya dia hendak shalat yang dia inginkan” (Lihat SyarhSunan Abi Daud 7/431 dan 10/365, dan lihat juga Fath Al-Qawiy Al-Matienfie Syarh Al-Arba’ien dan Tatimmatul-Khomsien li An-An-Nawawie wa IbnuRajab rahimahumallâh).


7.       Syaikh Abdullah bin Abdirrahman bin Abdillah bin Jabarain, dia berkata: “…. Dan niat itu tempatnya di hati, serta tidak boleh melafalkannya, baik dalam shalat ataupun dalam thaharah (bersuci), beberapa pengikut madzhab Asy-Syâfi’iyyah berpendapat bahwa niat itu diucapkan, dan hal itu mereka tulis dalam kitab-kitab karangan mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya melafalkan niat itu hukumnya sunnah, dan sesungguhnya hal itu adalah madzhab imam Asy-Syâfi`i.’ Sebenarnya itu bukanlah madzhab imam Asy-Syâfi`i, tidak ada nukilan darinya secara sharih (jelas), dan imam Asy-Syâfi`i pun tidak menyebutkan hal itu dalam kitab-kitab karangannya juga tidak dalam surat-suratnya.” (Lihat kitab Syarh Umdatil-Ahkâm 1/4).
8.       Syaikh Abi Al-Hasan Ubaidillah bin Al-Allâmah Muhammad Abdussalâm Al-Mubârakfûrie, dia berkata: “Tidak diragukan lagi bahwasanya melafalkan niat itu hukumnya bid`ah, tidak ada dalil dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam baik melalui jalan yang shahih, dla’if, bersanad, ataupun mursal bahwasanya beliau melafalkan niat, seperti mengucapkan"أصلي صلاة كذا مستقبل القبلة"  atau yang lainnya yang biasa diucapkan oleh orang-orang pengikut madzhab Al-Hanafiyyah dan  Asy-Syâfi’iyyah ketika memulai shalat, bahkan tidak ada riwayat dari para sahabat ataupun tabi`in. Yang ada adalah riwayat bahwasnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat, lalu beliau langsung bertakbir, andaikan beliau mengucapkan sesuatu sebelum takbir, niscaya para sahabat akan menyampaikan hal itu. Dan dalam hadits yang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang yang shalatnya buruk, Rasulullah bersabda: ‘Ketika kamu berdiri untuk menunaikan shalat, maka bertakbirlah’, maka hadits ini menunjukkan ketiadaan melafalkan niat.” (Lihat kitab Mar`âtul-Mafâtîh Syarh Misykâtul-Mashâbîh 3/86).

PENDAPAT YANG PALING KUAT DALAM PERMASALAHAN INI:
-          Dari penjelasan di atas, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa melafalkan niat itu tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallâhu `alaihi wa sallam, para sahabat, ataupun tabi`în, maka pendapat yang mengatakan melafalkan niat itu bid`ah, itu sangat kuat.
-          Kita harus bisa membedakan antara perkara IJTIHÂDIYYAH dan perkara BID`AH, perkara IJTIHÂDIYYAH itu mempunyai dasar/dalil (meskipun dalil itu diperselisihkan keabsahannya), sedangkan perkara BID`AH adalah perkara yang tidak ada dasarnya sama sekali, dan  melafalkan niat merupakan perkara yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jadi jelas bahwa hal ini adalah bid`ah.
-          Wallahu a`lam bi ash-shawâb….
ð  Perlu selalu diingat untuk selalu memberikan nasihat kepada orang lain dengan hikmah, agar mereka dapat dengan mudah menerima sebuah kebenaran, dan perlu selalu diingat juga, agar kita menghindari fanatisme terhadap madzhab tertentu, karena seorang mujtahid tidak lepas dari sifat dasar manusia, salah dan lupa, jadi tidak ada alasan untuk fanatik terhadap suatu madzhab….
Imam Asy-Syâfi’i seorang ulama’ yang besar, tidak ada sifat fanatik dalam dirinya, beliau berkata:
"إذا صح الحديث فهو مذهبي"
“Jaka hadits itu shahih, maka itu adalah madzhabku”
Jelas, tidak semua dalil yang digunakan oleh seorang ulama’ (imam) disepakati akan keabsahannya, dan bahkan ada dari madzhab lain yang mempunyai dalil yang lebih sharih dan shahih.
Imam Asy-Syâfi`i juga berkata:
"قولي صواب يحتمل الخطأ، و قول غيري خطأ يحتمل الصواب"
“Perkataanku benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan perkataan orang-orang selain aku itu salah, tetapi ada kemungkinan benar”
Ulama’ besar seperti Imam Asy-Syâfi`i saja tidak mempunyai sikap fanatik, kenapa kita yang awam menjadi fanatik?, beliau berkata “Dalam permasalahan Fiqh, orang-orang berhutang pada imam Abu Haniefah”
Dan kita juga tahu, bahwa para imam itu saling berguru antara satu dengan yang lainnya, saling mewariskan ilmu antara satu dengan yang lainnya, jadi tidak adalasan untuk kita fanatik,
Imam Abu Haniefah berkata:
"هم رجال و نحن رجال"

“Mereka laki-laki, kita pun laki-laki”
Maksudnya adalah, jika mereka berijtihad (bersungguh-sungguh), kami pun berijtihad (bersungguh-sungguh),
Tidak ada fanatisme di antara mereka.. Jadi mari kita buang jauh-jauh fanatisme dalam diri kita..


0 comments: